siranews.com - 09/05/2025, 10:11 WIB
Tim Redaksi
SIRANEWS.COM – JAKARTA
Jaksa Agung Muda Pidana Militer (JAMPidmil) melalui Direktorat Penindakan resmi menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara koneksitas dugaan tindak pidana korupsi pengadaan user terminal satelit untuk slot orbit 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2016.
< /strong>
Ketiganya adalah Laksamana Muda TNI (Purn) LNR (Leonardi), yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemhan; ATVDH (Anthony Thomas Van Der Hayden) tenaga ahli satelit Kemhan; serta GK (Gabor Kuti) CEO Navayo International AG, perusahaan asal Hungaria yang menjadi rekanan proyek.
Direktur Penindakan JAMPidmil, Brigadir Jenderal TNI Andi Suci, menyampaikan bahwa penyidikan telah dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan tim gabungan dari unsur militer dan sipil.
Penetapan dilakukan berdasarkan hasil penyidikan yang telah dilakukan secara mendalam oleh tim koneksitas. Perkara ini terkait kontrak pengadaan terminal pengguna satelit dan perangkat pendukung senilai $34,19 juta yang kemudian diubah menjadi $29,9 juta,” ujar Brigjen Andi pada konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (7/5) malam.
Adapun kasus ini bermula dari penandatanganan kontrak antara Kemhan dan Navayo International AG pada 1 Juli 2016, terkait perjanjian penyediaan terminal pengguna, jasa, dan peralatan pendukung (Agreement for the Provision of User Terminal and Related Services and Equipment).
Nilai kontrak awal sebesar $34.194.300 kemudian berubah menjadi $29.900.000. Namun, kontrak tersebut ditandatangani tanpa didukung oleh ketersediaan anggaran negara dan tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa sebagaimana mestinya.
Penunjukan Navayo International AG sebagai penyedia jasa dilakukan atas rekomendasi aktif dari tersangka ATVDH. Selanjutnya, Navayo mengklaim telah mengirimkan barang dan program perangkat lunak kepada Kemhan berdasarkan empat Certificate of Performance (COP) yang ditandatangani oleh Letkol Tek JKG dan Kolonel CHB MRI atas persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) BH serta Laksamana Muda TNI (Purn) LNR. COP tersebut, menurut Brigjen Andi, disiapkan oleh tersangka ATVDH dan GK tanpa adanya pemeriksaan atau pengecekan fisik terhadap barang-barang yang dikirim Navayo.
Navayo kemudian mengirimkan empat invoice dan COP untuk melakukan penagihan kepada Kemhan. Namun hingga tahun 2019, anggaran untuk pembayaran tersebut tidak tersedia. Pemeriksaan laboratorium terhadap sampel barang kiriman Navayo menemukan bahwa 550 unit handphone yang dikirim bukan merupakan handphone satelit dan tidak dilengkapi dengan chip pengaman (secure chip) sebagaimana disyaratkan dalam kontrak.
Sementara itu, terhadap program utama (master program) yang diserahkan Navayo berupa 12 buku milestone 3 submission, hasil penilaian dari ahli satelit menyatakan bahwa Navayo International AG tidak mampu membangun program terminal pengguna sesuai spesifikasi.
Kesimpulan para ahli satelit menunjukkan bahwa pekerjaan Navayo tidak memenuhi syarat teknis dan tidak layak digunakan,” katanya.
Lebih lanjut, Brigjen Andi mengungkapkan bahwa akibat proyek ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan diwajibkan membayar sebesar $20.862.822 berdasarkan putusan arbitrase internasional yang disidangkan di Singapura. Hal ini dipicu oleh penandatanganan COP yang telah dilakukan Kemhan, meskipun belum dilakukan pemeriksaan barang secara layak.
Putusan arbitrase tersebut dikeluarkan oleh International Commercial Court (ICC) Singapura pada 22 April 2021. Akibatnya, Navayo International AG mengajukan permohonan penyitaan aset negara di luar negeri, termasuk Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, Rumah Dinas Pertahanan, serta rumah dinas dan apartemen Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris, yang kemudian ditindaklanjuti oleh otoritas pengadilan di Paris.
Dalam proses penyidikan sejauh ini, tim JAMPidmil telah memeriksa sebanyak 52 orang saksi dari kalangan sipil, 7 saksi dari kalangan militer, serta 9 saksi ahli. Dari saksi ahli tersebut, enam merupakan ahli satelit, sementara lainnya adalah ahli hukum dan ahli keuangan negara.
Dari hasil pemeriksaan dan perhitungan yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), total kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat proyek ini mencapai $21,3 juta.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP. (ho)